Sabtu, 08 Januari 2011

Mengakrabi Bumi dengan Nyamplung

Bahan bakar hayati atau biofuel menjadi pilihan alternatif di saat cadangan energi bumi yang bersumber dari bahan bakar fosil semakin tipis. Biofuel juga dipercaya lebih bersahabat bagi planet Bumi yang makin tua ini.

Berdasarkan penelitian, biofuel menawarkan kemungkinan memproduksi energi tanpa meningkatkan kadar karbon di atmosfer karena berbagai tanaman yang digunakan untuk memproduksi biofuel mengurangi kadar karbondioksida di atmosfer.

Bandingkan dengan bahan bakar fosil yang mengembalikan karbon yang tersimpan di bawah permukaan tanah selama jutaan tahun ke udara.

Dengan alasan itulah, para peneliti yang mengadakan riset-riset berkaitan dengan energi mulai beralih meneliti bahan bakar dari bahan nabati.

Berbagai tanaman telah diteliti untuk menghasilkan bahan bakar yang paling cocok dan ramah lingkungan, dimulai dari sagu, tebu, kelapa sawit, jarak, hingga yang terbaru dari biji buah nyamplung.

Menurut Maman Mansyur Idris, Direktur Kepala Peneliti Puslitbang Departemen Kehutanan, buah nyamplung mulai dilirik karena memiliki berbagai keunggulan dibanding bahan dasar biofuel lainnya.

”Keunggulan biodiesel nyamplung adalah tidak diperlukan lagi campuran solar untuk menjalankan mesin, sedangkan beberapa biodiesel dari bahan lain masih memerlukan campuran solar,” papar Maman.

Buah nyamplung, menurut Maman, secara alami sudah ada di pinggir pantai sehingga bahan dasarnya mudah diperoleh.

”Tanaman ini juga tidak berkompetisi dengan tanaman pangan, berbeda dengan sagu dan kelapa sawit. Itu keunggulannya,” katanya.

Bagian yang diolah menjadi bahan bakar adalah biji buah nyamplung yang berwarna kuning kecokelatan. Biji-biji yang telah dikupas tempurungnya dikeringkan dengan cara dijemur atau dengan menggunakan mesin pengering biji, bisa juga dilakukan dengan cara disangrai.

Proses pengeringan dilakukan sampai biji berwarna merah cokelat kemerahan. Tahap ini memengaruhi besarnya rendemen minyak yang dihasilkan.

Setelah biji mencapai kondisi kering udara, yaitu kadar air biji sekitar 8 sampai 12 persen, daging biji dipisahkan dari cangkangnya, hingga diperoleh rendemen biji sebesar 70 persen dan cangkang 30 persen. Biji dimasukkan ke karung dan disimpan dalam tempat penyimpanan yang tidak terlalu lembab. Suhu ideal ruang penyimpanan adalah 26-27 derajat Celsius dengan kelembaban 60-70 persen.

Apabila penyimpanan dalam waktu yang lama, perlu dilakukan pengecekan sewaktu-waktu untuk mengetahui ada atau tidaknya serangan jamur, hama, atau kutu.

Jika beberapa sampel terkena serangan jamur, sebaiknya dicuci dan dikeringkan kembali. Apabila serangan hamanya sudah terlalu banyak, diperlukan fumigasi seluruh ruang penyimpanan.

Tahap kedua adalah pengepresan. Ada dua tipe alat yang digunakan untuk mengekstrak minyak nyamplung, yaitu mesin pres hidraulik manual dan mesin pres ekstruder atau ulir.

Tipe manual sesuai digunakan untuk skala rumah tangga dengan energi listrik yang dibutuhkan sekitar 1.000 watt, sedangkan yang kedua untuk pabrik dengan energi listrik sebesar 5 KVA. Mesin pres ekstruder mampu menghasilkan 100 liter minyak per hari dengan rendemen sekitar 20 persen.

Limbah yang dihasilkan berupa bungil juga memiliki nilai komersial karena memunyai nilai kalori sehingga bisa dimanfaatkan sebagai pengganti kayu bakar untuk rumah tangga atau industri pertanian.

Minyak yang dihasilkan setelah tahap kedua ini sempat diuji coba untuk menjalankan mobil. Namun, kadar getah yang terkandung di dalamnya masih terlalu banyak sehingga pengapian mesin tidak berjalan sempurna.

Untuk menyempurnakannya, minyak perlu dipisahkan dari getah. Proses ini disebut dengan deguming, yaitu memanaskan minyak pada suhu 80 derajat Celsius selama 15 menit.

Endapan yang terjadi dipisahkan kemudian dicuci dengan air hangat suhu 60 derajat Celsius sampai jernih.

Proses selanjutnya ialah air dipisahkan dengan cara diuapkan dari minyak dengan pengering vakum agar tidak terjadi reaksi oksidasi yang bisa mengubah warna minyak tersebut menjadi gelap kembali.

Tujuan dari proses deguming adalah memisahkan minyak dari getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, residu, air, dan resin. Pemisahan ini dilakukan dengan menambahkan asam fosfat 20 persen sehingga terbentuk senyawa fosfatida yang mudah terpisah dari minyak.

Kemudian senyawa tersebut dipisahkan berdasarkan pemisahan berat jenis, senyawa fosfatida berada di bagian bawah dari minyak tersebut. Hasil dari deguming akan memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dari minyak asalnya, yaitu berwarna kemerah-merahan.

Untuk menghilangkan kandungan asam dalam bahan bakar nyamplung yang bisa membuat mesin karatan, dilakukan proses esterfikasi dan transesterifikasi sehingga kandungan asamnya normal.

Proses ini juga disebut dengan ET. Dengan proses ini, bilangan asam biodiesel dapat diturunkan dari 61, 92 mg KOH/g menjadi 0,66 mg KOH/g.

Demikian pula dengan kriteria lain seperti viskonitas, densitas, dan angka setana sudah memenuhi standar biodiesel nasional, yaitu SNI Nomor 04-7182-2006 dan ASTM D 6751. Biodiesel nyamplung juga sudah dicoba dengan uji coba di jalan menggunakan bus dan jip dengan jarak tempuh 300 kilometer dengan hasil yang baik. ”Penelitian ini masih dalam tahap percobaan, dan akan diluncurkan pada 8 Desember 2009 di Purworejo,” kata Maman.

Sebagai alternatif, minyak nyamplung juga bisa digunakan sebagai pengganti minyak tanah (biokerosene). Pemanfaatannya sebagai biokerosene lebih realistis dan menyentuh masyarakat perdesaan karena hanya perlu melewati dua tahap, yaitu proses deguming dan ET.

Endapan biodiesel nyamplung, yaitu metil strearat (stearin), setelah dipadatkan dan dihilangkan racunnya, juga dapat dibuat cokelat putih dengan harga 20.000 rupiah per kilogram.

Ekstrak fraksi tersabunkan dari minyak nyamplung dapat dijual sebagai obat-obatan dengan nama dagang coumarin yang digunakan sebagai bahan baku obat HIV/AIDS. Hasil endapan proses pembuatan biodiesel adalah gliserin sebesar 10 persen yang dapat digunakan untuk pembuatan sabun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer