Tatkala Bung Karno berkunjung ke Semarang, Mayjen Soeharto men-jabat Panglima Kodam Diponegoro. Pak Harto mencurahkan isi hatinya tentang PKI. Sembari berjalan ia katakan kepada Bung Karno bahwa ia melihat semakin hari PKI semakin menonjol. Tanyanya: “Apakah itu tidak berbahaya?” Seperti dalam nada marah, Bung Karno menjawab: “PKI mesti dimasukkan ke dalam Pancasila. Dan itu urusan saya.”
Meski pendapatnya tidak diterima, Soeharto lega karena telah
menumpahkan sesuatu yang sejak lama sangat mengganjal
perasaannya. Mayjen Soeharto tidak lama memegang komando Kodam Diponegoro. Orang-orang PKI menyebarkan isu bahwa ia melakukan korupsi. Isu ini sampai ke telinga Bung Karno. Mayjen Soeharto ditarik dan disekolahkan di Seskoad, Bandung. Selepas Seskoad, tanggal 1 Mei 1963, Mayjen Soeharto diangkat menjadi Panglima Komando Mandala, Wakil Panglima I Kolaga (1964), kemudian Pangkostrad dengan pangkat Letnan Jenderal (1965).
Situasi politik di dalam negeri tambah tidak menentu. PKI menggusur partai-partai politik lain dan ormas-ormas dengan menyatakan dirinya yang paling revolusioner, sedangkan lawan-lawannya dicap sebagai “kontra revolusi”. PKI terus mengipas Bung Karno. Dan orang-orang yang ada di sekitar Presiden tidak ada yang berani menyampaikan pendapat yang berlainan. Gambaran peta politik waktu itu sudah jelas: adanya perselisihan yang tajam antara AD, golongan Islam dan nasional yang anti komunis dengan PKI dan rekan-rekannya, di pihak lain.
Tanggal 16 September 1963, terbentuk negara Federasi Malaysia. Ini menimbulkan kemarahan besar pada Bung Karno. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaya, 17 September 1963. Bung Karno menilai pembentukan Malaysia melanggar kesepakatan antara dirinya dan PM Tengku Abdul Rachman di Tokyo, Juni 1963. Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris. Bung Karno menunjukkan kekesalannya, dengan menyebutkan di depan umum, bahwa “Pemerintah Indonesia telah dikentuti.”
Di New York, para diplomat Indonesia bekerja ekstra keras untuk menggagalkan masuknya Malaysia ke dalam Dewan Keamanan PBB. Ada ultimatum dari Jakarta, “Jika DK-PBB menerima Malaysia, Indonesia akan meninggalkan PBB.” Ternyata Malaysia diterima. Tanggal 1 Januari 1965, Menlu Subandrio dengan resmi menyatakan sikap Indonesia keluar dari PBB.
Bung Karno menyerukan Komando Pengganyangan Malaysia, dikenal dengan Dwi-Komando-Rakyat, atau Dwikora, dalam apel besar Sukarelawan di Jakarta, 3 Mei 1964. Dwikora menetapkan: perhebat ketahanan Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Serawak untuk menggagalkan negara boneka Malaysia. Situasi terasa amat berbahaya. Suasana konfrontasi dengan Malaysia makin panas.
Tanggal 2 September 1964, dibentuk Komando Siaga (KOGA), panglimanya Laaksamana (U) Omar Dhani. Wakil panglima, Laksamana (L) Mulyadi dan Brigjen. A. Wiranatakusumah. Kepala stafnya Komodor (U) Leo Watimena. Tanggal 28 Februari 1965, Presiden Soekarno mengubah KOGA dengan Komando Mandala Siaga (KOLAGA). Panglimanya tetap Omar Dhani, Letjen Soeharto, Wakil Panglima I, Mulyadi Wakil Panglima II. Kepala stafnya tetap Laksda Leo Watimena dan wakil Kepala Staf Brigjen. A. Satari.
Sementara itu PKI terus meningkatkan agitasinya. Di pelbagai tempat terjadi keributan. Di Kediri, seorang Kiai dan Imam dipukuli oleh orang-orang PKI. Di Bandar Betsy, Sumatera Utara, Peltu. Sudjono dikeroyok secara beramai-ramai oleh orang-orang PKI sampai meninggal. Bung Karno mendapat masukan agar Indonesia lebih siaga. Pelbagai informasi di antaranya datang dari PKI yang sedang giat-giatnya menjalankan taktik, rencana pembentukan Angkatan V yang ditolak Angkatan Darat.
PKI menuntut Nasakomisasi di segala bidang. Menuntut buruh dan tani dipersenjatai. Asal muasalnya, PM China Chou En Lai menyarankan PKI untuk membentuk Angkatan V di luar Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian. Untuk pembentukan Angkatan Kelima, Chou En Lai menjanjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara cuma-cuma. Pimpinan AD dengan tegas menolak tuntutan PKI. Juga pimpinan AU dan AK, kecuali AU, Omar Dhani.
Lalu PKI mengembuskan isu tentang “Dewan Jenderal” dengan disiarkannya apa yang disebut “Dokumen Ginchrist”. Ginchrist adalah Duta Besar Inggris yang waktu itu bertugas di Indonesia. Dan dokumen yang memakai namanya itu dikatakan ditemukan di rumah Bill Palmer, di Puncak, sewaktu rumah importir film-film Amerika itu, diobrak-abrik Pemuda Rakyat.
Pimpinan PKI DN Aidit yang mengembuskan isu “Dewan Jenderal”, dibicarakan dengan Subandrio yang merangkap ketua BPI (Badan Pusat Intelijen). Isu itu sampai ke telinga Presiden Soekarno. Bung Karno kemudian menanyakan kepada Pangad Letjen. A. Yani: “Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat, antara lain, untuk menilai kebijaksanaan yang telah saya gariskan?” Jenderal Yani menjawab, “Tidak benar, Pak. Yang ada ialah “Wanjakti” (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Dewan ini mengurus jabatan dan kepangkatan perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat.”
Lalu isu itu dikembangkan lagi oleh Aidit, dengan menyebutkan,”ada jenderal-jenderal yang tidak loyal pada Pemimpin Besar Revolusi. Dewan Jenderal akan mengadakan coup.” Isu itu berkembang sekitar Mei, Juni dan Juli, mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.
Tanggal 4 Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh pingsan dan muntah-muntah. Rupanya kejadian ini menimbulkan pikiran yang mendesak pada Aidit yang baru kembali dari Moskow dan Peking untuk mengadakan tindakan, yakni merebut kekuasaan. Tampaknya ia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh AD. Maka, pada dinihari 1 Oktober 1965, terjadilah malapetaka di negeri ini, manifestasi dari pikiran-pikiran mereka yang jahat.
Dinihari itu terjadi penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal AD. Pak Harto mendengar siaran G-30-S/PKI melalui RRI. Selang seperempat jam usai siaran, Pak Harto menerima Letkol Ali Murtopo dan Brigjen Sabirin Mochtar. Mereka diperintahkan menghubungi Komandan Batalyon yang berada di sekitar Monas, agar menghadap kepada Panglima Kostrad.
Letkol Ali Murtopo dan Brigjen Sabirin Mochtar kembali menghadap dan bercerita, bahwa Danyon 454 dan 530 tidak ada di tempat, mereka sedang ke Istana. Pak Harto tidak puas. Ia minta lagi keduanya agar menyuruh Wadanyon 454 dan 530 menghadap. Selang setengah jam Wadanyon 454 Kapten Kuntjoro dan Wadanyon 530 Kapten Suradi datang di kamar kerjanya. Pak Harto bertanya: “Tugasmu di sini apa?” Hampir berbarengan mereka menjawab, “mengamankan Presiden, karena akan ada kup dari Dewan Jenderal.”
“Itu semua tidak betul,” jawab Pak Harto sambil menatap kedua kapten itu. “Kamu tahu, Presiden Soekarno saat ini tidak ada di Istana. Coba kamu cek sendiri ke Istana kalau tidak percaya. Lagi pula Dewan Jenderal itu tidak ada, yang ada Wanjakti, saya sendiri anggotanya. Saya mengetahui betul, gerakan Untung (Letkol) pasti didalangi oleh PKI.” Setelah diam, Pak Harto melanjutkan ucapannya: “Ini merupakan pemberontakan, jadi, saya memutuskan untuk menghadapinya.” Langkah pertamanya, menyelamatkan dua batalyon yang dilibatkan dalam petualangan Letkol Untung, pemimpin Dewan Revolusi Indonesia.
Tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Soekarno memanggil kabinet untuk bersidang di Istana Bogor. Pak Harto juga dipanggil untuk memberikan laporan mengenai situasi. Hadir juga Lukman dan Nyoto dari PKI, Menlu Subandrio dan dr. Leimena. Semestinya suasana murung karena baru kemarin para Pahlawan Revolusi dimakamkan. Yang terjadi malah suasana gelak dan tawa. Pak Harto mendapat kesempatan memberi laporan bahwa orang-orang PKI pasti punya hubungan dengan penculikan dan pembunuhan tersebut.
Nyoto menyangkal tanggungjawab PKI terhadap kudeta yang gagal itu. Malahan dia menuduh dilakukan oleh “Dewan Jenderal”. Presiden Soekarno dalam kesempatan itu mengarahkan telunjuknya kepada Nyoto, dan berkata, “Nyoto, kau tolol, mengobarkan peristiwa yang terkutuk itu. Peristiwa ini menghancurkan nama komunis. Itu satu tindakan kekanak-kanakan.”
Kamis, 30 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri Populer
-
Jumlah sampah plastik yang terapung di lokasi di Samudra Atlantik saat ini sama dengan jumlah plastik pada 20 tahun yang lalu. Padahal, oran...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar